Selasa, 06 September 2016

Uang Panai, Antara Gengsi Dan Sakralitas Pernikahan Bugis-Makassar

WTBnews -    Masyarakat Bugis-Makassar memiliki adat dan tradisi tersendiri dalam hal pelaksanaan perkawinan/pernikahan, yaitu adanya kewajiban dari pihak mempelai laki-laki untuk memberikan uang panaik. Sebagai hukum adat, uang panaik menjadi keharusan dalam tradisi perkawinan Bugis-Makassar. Sebagaimana yang diutarakan oleh Prof. H. Hilman, yang menganggap hukum adat akan dibawa dan dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat. “Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Kehidupan manusia berawal dari berkeluarga dan mereka telah mengatur dirinya dan anggotanya menurut kebiasaan, dan kebiasaan itu akan dibawa dalam bermasyarakat dan negara,” tulisnya dalam buku ‘Pengantar Hukum Adat’, 1989.
Namun, uang panaik belakangan menjadi term yang santer dibicarakan di kalangan anak-anak muda keturunan Bugis-Makassar. Betapa tidak, nilai nominal tinggi yang dipengaruhi berbagai faktor, membuat uang panaik dianggap sangat memberatkan. Meski, tak sedikit pula yang menilai tradisi uang panaik itu harus ada, beradaptasi dengan kebutuhan.

Uang Panaik Bukan Mahar
Uang Panaik berbeda dengan mahar pernikahan, uang panaik adalah sejumlah uang yang wajib diberikan oleh calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan yang akan dipergunakan untuk kebutuhan resepsi pernikahan. Sedang mahar adalah sebentuk harta yang dipersembahkan pada calon mempelai perempuan. Jumlah uang panaik dianggap sebagai ukuran penghormatan dan simbolisasi cinta kasih seorang lelaki pada calon isterinya. Di sisi lain, orang tua si perempuan menetapkan nominal uang panaik sebagai simbol kehormatan keluarganya.
Besarnya uang panaik bagi pihak keluarga perempuan akan menentukan seberapa meriah, besar, dan megahnya sebuah pesta pernikahan. Dengan begitu, diharapkan prestise keluarga akan turut terdongkrak. Tapi, hal-hal di atas mendapat perlawanan argumentasi normatif. Mereka yang merasa terbebani dan menganggap uang panaik terlalu transaksional secara materil, mengatakan bahwa keutamaan penghormatan terletak pada bagaimana kedua belah pihak berusaha untuk saling menghargai, menutupi kekurangan, dan menghindari potensi keretakan hubungan. Bukan pada uang panaik yang bernilai hingga ratusan juta rupiah.
Terakhir, kita mesti mengetahui bahwa yang menentukan besaran angka uang panaik untuk seorang perempuan pada sebuah keluarga, yakni pemimpin keluarga atau keluarga yang dituakan dengan pertimbangan yang matang. Bukan ditentukan oleh pribadi perempuan bersangkutan.

Fakta-fakta tentang nilai uang panaik:
Penilaian awam selalu menempatkan perempuan sebagai pihak yang salah bila rencana pernikahan gagal karena tingginya uang panaik. Dalam hal ini, pihak laki-laki mesti adil menilai diri sendiri, bahwa pihak perempuan ingin melihat usaha dan keseriusan membangun rumah tangga bersama perempuan yang dikasihinya.
Uang panaik yang tinggi dianggap pula jadi dasar pertimbangan yang kuat bila pasangan suami isteri Bugis-Makassar berniat mengandaskan bahterah rumah tanggannya. Hal tersebut berlaku pada kedua belah pihak.
Uang panaik bukan mahar, jadi sifatnya bukan sebagai pemberian wajib mutlak untuk wanita yang akan dinikahi, melainkan sebagai hadiah untuk mempelai wanita dan juga uang panaik tidak dijadikan sebagai tolak ukur sukses tidaknya sebuah pesta perkawinan.
Tidak menjadikan uang panaik sebagai penghalang akan terlaksananya niat suci seorang laki-laki yang akan menikah dengan wanita yang benar-benar ia cintai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar