WTBnews - Masyarakat Bugis-Makassar memiliki adat dan tradisi
tersendiri dalam hal pelaksanaan perkawinan/pernikahan, yaitu adanya kewajiban
dari pihak mempelai laki-laki untuk memberikan uang panaik. Sebagai
hukum adat, uang panaik menjadi keharusan dalam tradisi perkawinan
Bugis-Makassar. Sebagaimana yang diutarakan oleh Prof. H. Hilman, yang
menganggap hukum adat akan dibawa dan dipraktekkan dalam kehidupan
bermasyarakat. “Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat.
Kehidupan manusia berawal dari berkeluarga dan mereka telah mengatur dirinya
dan anggotanya menurut kebiasaan, dan kebiasaan itu akan dibawa dalam
bermasyarakat dan negara,” tulisnya dalam buku ‘Pengantar Hukum Adat’, 1989.
Namun, uang panaik belakangan
menjadi term yang santer dibicarakan di kalangan anak-anak muda keturunan
Bugis-Makassar. Betapa tidak, nilai nominal tinggi yang dipengaruhi berbagai
faktor, membuat uang panaik dianggap sangat memberatkan. Meski, tak
sedikit pula yang menilai tradisi uang panaik itu harus ada, beradaptasi
dengan kebutuhan.
Uang Panaik Bukan Mahar
Uang Panaik berbeda dengan mahar
pernikahan, uang panaik adalah sejumlah uang yang wajib diberikan oleh
calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan yang akan dipergunakan
untuk kebutuhan resepsi pernikahan. Sedang mahar adalah sebentuk harta yang
dipersembahkan pada calon mempelai perempuan. Jumlah uang panaik
dianggap sebagai ukuran penghormatan dan simbolisasi cinta kasih seorang lelaki
pada calon isterinya. Di sisi lain, orang tua si perempuan menetapkan nominal uang
panaik sebagai simbol kehormatan keluarganya.
Besarnya uang panaik bagi
pihak keluarga perempuan akan menentukan seberapa meriah, besar, dan megahnya
sebuah pesta pernikahan. Dengan begitu, diharapkan prestise keluarga
akan turut terdongkrak. Tapi, hal-hal di atas mendapat perlawanan argumentasi
normatif. Mereka yang merasa terbebani dan menganggap uang panaik
terlalu transaksional secara materil, mengatakan bahwa keutamaan penghormatan
terletak pada bagaimana kedua belah pihak berusaha untuk saling menghargai,
menutupi kekurangan, dan menghindari potensi keretakan hubungan. Bukan pada uang
panaik yang bernilai hingga ratusan juta rupiah.
Terakhir, kita mesti mengetahui
bahwa yang menentukan besaran angka uang panaik untuk seorang perempuan
pada sebuah keluarga, yakni pemimpin keluarga atau keluarga yang dituakan
dengan pertimbangan yang matang. Bukan ditentukan oleh pribadi perempuan
bersangkutan.
Fakta-fakta tentang nilai uang panaik:
Penilaian
awam selalu menempatkan perempuan sebagai pihak yang salah bila rencana
pernikahan gagal karena tingginya uang panaik. Dalam hal ini, pihak
laki-laki mesti adil menilai diri sendiri, bahwa pihak perempuan ingin melihat
usaha dan keseriusan membangun rumah tangga bersama perempuan yang dikasihinya.
Uang panaik
yang tinggi dianggap pula jadi dasar pertimbangan yang kuat bila pasangan suami
isteri Bugis-Makassar berniat mengandaskan bahterah rumah tanggannya. Hal
tersebut berlaku pada kedua belah pihak.
Uang panaik
bukan mahar, jadi sifatnya bukan sebagai pemberian wajib mutlak untuk wanita
yang akan dinikahi, melainkan sebagai hadiah untuk mempelai wanita dan juga uang
panaik tidak dijadikan sebagai tolak ukur sukses tidaknya sebuah pesta
perkawinan.
Tidak
menjadikan uang panaik sebagai penghalang akan terlaksananya niat suci
seorang laki-laki yang akan menikah dengan wanita yang benar-benar ia cintai.