Sabtu, 12 September 2015

Halusnya Bahasa BUGIS

Bukti,Halusnya Bahasa Bugis Bone

Pantang “membunuh kata”
Jangankan dalam pengertian harfiah, dalam penggunaan bahasa, orang Bugis paling anti “membunuh huruf.” Orang Bugis sedapat mungkin menghindari huruf konsonan di akhir kata.
Mungkin ini alasannya, mengapa Orang Bugis seringkali mengalami ‘kelebihan huruf’ dalam melafalkan sebuah kata. Istilah huruf lebih, disebut “okkot” oleh anak-anak Makassar.
Okkot memang paling bisa menimpa orang Bugis karena karakter berbahasa mereka yang halus. Ketika sebuah kata diakhiri dengan huruf mati, biasanya kata itu ‘dihidupkan’ dengan menambahkan satu huruf lagi atau terkadang mengurangi.
Contoh: penambahan huruf dengan kombinasi dengung ‘ng’ (konsonan rangkap), misalnya pada kata “aman” menjadi “amang”.
Untuk memperhalus bahasa, huruf konsonan di akhir kata juga sering dibuang, misalnya pada kata: “sekolah” menjadi “sikola”; “amplop” menjadi “ampello’”
Penghalusan bahasa juga dilakukan dengan menghidupkan kata dengan cara menambahkan huruf vocal, misalnya pada kata: “botol” menjadi “botolo”, “motor” menjadi “motoro”.

Nama-nama seperti Abdul Rahman, Talib, dan Rahim jika dikonversi ke dalam dialek Bugis, maka penyebutannya akan menjadi: “Beddu Remmang”, “Talibe” dan Rahing”

Tidak menyebut nama
Nama adalah identitas personal yang membedakan seseorang dengan yang lain. Namun, bagi Orang Bugis, menyebut langsung nama seseorang justru dianggap kurang sopan. Karena itu, menyebut seorang dengan jabatan tertentu, lazimnya diselipkan dengan kata penghormatan: “alena to malebbita” yang berarti “yang kita muliakan”.
Dalam etika berkomunikasi langsung, penyebutan nama sedapat mungkin dihindari. Biasanya, diganti dengan penyebutan “Puang”, “Alena Tomalebbita”, atau “Idi”.
Begitu juga dengan pasangan suami-istri. Keduanya menunjukkan penghormatan kepada pasangannya dengan panggilan yang menyertakan nama anak sulung dalam panggilan Bapak atau Ibu.
Misalnya: jika anak sulung mereka namanya Becce, mereka memanggil masing-masing dengan sebutan “Papanya Becce” dan “Mamanya Becce”
Rumah Adat AtakkaeGambar: Rumah Adat Atakkae Wajo (bu-gis.blogspot.com)
Idi’
Penyebutan “idi’” pada hakikatnya berarti subjek melihat dirinya ada dalam orang lain. Ada semangat egalitarian atau kesetaraan yang terkandung di dalam penyebutan idi’. Bahwa semua orang memiliki kedudukan sama dan seharusnya diperlakukan tidak berbeda.
Contoh penyebutan idi’:
“idi’ umma’ sellenge” (kita sebagai umat Islam…)
“idi’ maneng pabbanuae” (kita semua selaku warga…)
Subjek dan objek melebur dalam “idi”. “Idi” bukan hanya ditujukan kepada orang kedua (tunggal atau jamak), tapi juga menempatkan orang pertama (subjek) sebagai bagian dari obyek.
Makna serupa juga terdapat pada penggunaan akhiran “ta”. Kata kepunyaan orang kedua, lebih sering menggunakan kata “anu-ta” (kepunyaan kita), dibanding menggunakan kata “anu-mu” (kepunyaan kamu).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar