Bukti,Halusnya Bahasa Bugis Bone
Pantang “membunuh kata”
Jangankan
dalam pengertian harfiah, dalam penggunaan bahasa, orang Bugis paling
anti “membunuh huruf.” Orang Bugis sedapat mungkin menghindari huruf
konsonan di akhir kata.
Mungkin
ini alasannya, mengapa Orang Bugis seringkali mengalami ‘kelebihan
huruf’ dalam melafalkan sebuah kata. Istilah huruf lebih, disebut
“okkot” oleh anak-anak Makassar.
Okkot
memang paling bisa menimpa orang Bugis karena karakter berbahasa mereka
yang halus. Ketika sebuah kata diakhiri dengan huruf mati, biasanya
kata itu ‘dihidupkan’ dengan menambahkan satu huruf lagi atau terkadang
mengurangi.
Contoh: penambahan huruf dengan kombinasi dengung ‘ng’ (konsonan rangkap), misalnya pada kata “aman” menjadi “amang”.
Untuk
memperhalus bahasa, huruf konsonan di akhir kata juga sering dibuang,
misalnya pada kata: “sekolah” menjadi “sikola”; “amplop” menjadi
“ampello’”
Penghalusan
bahasa juga dilakukan dengan menghidupkan kata dengan cara menambahkan
huruf vocal, misalnya pada kata: “botol” menjadi “botolo”, “motor”
menjadi “motoro”.
Nama-nama
seperti Abdul Rahman, Talib, dan Rahim jika dikonversi ke dalam dialek
Bugis, maka penyebutannya akan menjadi: “Beddu Remmang”, “Talibe” dan
Rahing”
Tidak menyebut nama
Nama
adalah identitas personal yang membedakan seseorang dengan yang lain.
Namun, bagi Orang Bugis, menyebut langsung nama seseorang justru
dianggap kurang sopan. Karena itu, menyebut seorang dengan jabatan
tertentu, lazimnya diselipkan dengan kata penghormatan: “alena to
malebbita” yang berarti “yang kita muliakan”.
Dalam
etika berkomunikasi langsung, penyebutan nama sedapat mungkin
dihindari. Biasanya, diganti dengan penyebutan “Puang”, “Alena
Tomalebbita”, atau “Idi”.
Begitu
juga dengan pasangan suami-istri. Keduanya menunjukkan penghormatan
kepada pasangannya dengan panggilan yang menyertakan nama anak sulung
dalam panggilan Bapak atau Ibu.
Misalnya:
jika anak sulung mereka namanya Becce, mereka memanggil masing-masing
dengan sebutan “Papanya Becce” dan “Mamanya Becce”
Gambar: Rumah Adat Atakkae Wajo (bu-gis.blogspot.com)
Idi’
Penyebutan
“idi’” pada hakikatnya berarti subjek melihat dirinya ada dalam orang
lain. Ada semangat egalitarian atau kesetaraan yang terkandung di dalam
penyebutan idi’. Bahwa semua orang memiliki kedudukan sama dan
seharusnya diperlakukan tidak berbeda.
Contoh penyebutan idi’:
“idi’ umma’ sellenge” (kita sebagai umat Islam…)
“idi’ maneng pabbanuae” (kita semua selaku warga…)
Subjek
dan objek melebur dalam “idi”. “Idi” bukan hanya ditujukan kepada orang
kedua (tunggal atau jamak), tapi juga menempatkan orang pertama
(subjek) sebagai bagian dari obyek.
Makna
serupa juga terdapat pada penggunaan akhiran “ta”. Kata kepunyaan orang
kedua, lebih sering menggunakan kata “anu-ta” (kepunyaan kita),
dibanding menggunakan kata “anu-mu” (kepunyaan kamu).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar